SELF-HARM




SELF-HARM

Self-harm sampai saat ini masih menjadi hal yang dianggap sangat tabu di Indonesia. Anggapan bahwa self-harm dilakukan hanya sebatas aksi untuk mencari perhatian atau sebagai wujud tidak bersyukurnya seseorang menjadi penyebab utama para pengidap self-harm justru dikucilkan dan dijauhi di lingkunganya yang dimana hal tersebut sangat salah dilakukan tanpa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi kepada mereka. Perlu diketahui self-harm merupakan aksi ketika seseorang menyakiti diri sendiri sebagai cara untuk mengatasi, mengungkapkan, atau bertahan dari keadaan yang dirasa sulit. Menyakiti diri sendiri dapat dilakukan secara fisik seperti menyayat, membakar, mencakar, membenturkan, menarik rambut, hingga mongonsumsi sesuatu yang menyebabkan overdosis. Hal ini dilakukan oleh para pengidap biasanya sebagai pengalih pikiran terhadap sesuatu dan setelah melakukannya perasaan mereka cenderung lebih baik sehingga self-harm dapat dikatakan sebagai salah satu penyakit psikologis.
Kebanyakan orang yang melakukan self-harm bukan sebagai percobaan bunuh diri, meskipun bunuh diri juga membutuhkan aksi menyakiti diri sendiri. Self-harm sendiri termasuk dalam kategori Nonsuicidal Self Injury (NSSI) yang merupakan aksi menyakiti tubuh secara sengaja tanpa berniat untuk bunuh diri.
Banyak sekali faktor yang melatarbelakangi terjadinya self-harm. Kebayakan merupakan faktor personal meski sulit mengekspresikan emosi masih menjadi faktor umum terjadinya self-harm hingga saat ini. Hal ini mula-mula didasari oleh kemampuan seseorang dalam mengenali dan memahami emosi yang tidak sama. Banyak orang yang terbiasa memendam emosinya bahkan sejak kecil sehingga tidak tau cara mengungkapkan emosi dengan kata-kata hingga saat tiba di kondisi yang sulit dan berat untuk dilewati, self-harm akan menjadi salah satu cara untuk menjelaskan emosi yang sedang dirasakan.
Bisa jadi, seseorang yang pandai mengungkap emosi juga melakukan self-harm karena merasa tidak memiliki seseorang untuk menampungnya. Selain itu, faktor lain yang menyebabkan terjadinya self-harm adalah pengaruh pandangan terhadap diri sendiri.
Ketika seseorang yang merasa rendah diri atau bahkan membenci dirinya sendiri akan melihat self-harm sebagai pengalihan atas emosi yang dirasakan terhadap dirinya sendiri. Lain halnya dengan seseorang yang merasa kehadirannya diabaikan, tidak dicintai, atau bahkan mengalami ‘mati rasa’ dalam hidupnya, merasakan sakit fisik merupakan pilihan yang terbaik daripada merasakan kekosongan dalam diri yang akan terasa sangat jelas tanpa pengalihan tersebut.
Faktor selanjutnya adalah pain offset relief. Sebuah penelitian menjelaskan, pada umumnya setiap orang akan memberikan respon yang tidak menyenangkan terhadap rangsang yang menyakitkan. Namun ternyata, setelah menerima rangsangan menyakitkan tersebut dapat membuat seseorang merasa bahagia dan senang dalam waktu singkat. Peneliti berpendapat bahwa self-harm memiliki mekanisme yang sama. Ketika menyakiti dirinya untuk pertama kali, seseorang akan merasakan sakit yang tidak menyenangkan. Akan tetapi, ketika terus menyakiti diri dan melihat adanya hubungan antara ‘menyakti diri’ dengan ‘kelegaan’ atas sakit yang dirasakan, seseorang akan kembali menyakiti dirinya hingga menjadikannya sebuah kebiasaan.
Mengalami gangguan mental seperti depresi, skizofrenia, bipolar, atau alter ego adalah penyebab selanjutnya terjadinya self-harm. Hal ini sudah dibuktikan oleh sebuah survei yang dilakukan di Inggris bahwa pengidap gangguan mental memiliki kecenderungan yang tinggi untuk melakukan self-harm.
Beberapa faktor yang melatarbelakangi self-harm di atas mengingatkan untuk tidak seenaknya menilai seseorang yang melakukan self-harm. Tidak akan ada yang mengerti apa yang para pengidap rasakan dan tidak sepatutnya juga untuk meremehkan emosi mereka. Faktor-faktor itu pun dengan sangat jelas menjelaskan bahwa apa yang dilakukan para pengidap self-harm bukan karena ingin mencari masalah, namun justru karena sedang mencari cara untuk mengatasi masalah.


Komentar